Kamis, 11 Juli 2019

100719

Nak, Ibuk gk akan lupa hari kemarin. Kemarin, hari Rabu, 10 Juli 2019. Sepagi itu Ibuk bener-bener lemes rasanya, ngantuk luar biasa, bahkan Ayah nglembur tugas di pagi hari aja Ibuk tinggal tidur.

Hari Sabtu pekan kemarin, pertama kali Ibuk liat darah di siang hari sepulang kerja, Ibuk syok, Nak. Ibuk langsung bangunin Ayah yg lagi tidur siang. Maafin Ibuk, Yah, padahal waktu itu Ayah capek banget. :( Ibuk tak kuasa melihat darah itu, Nak. Lumayan banyak, cukup jika dimasukkan dalam separuh gelas belimbing. Pikiran Ibuk ke mana-mana tapi Ayah yg selalu menennagkan, seperti biasa. Ayah langsung mengajak untuk ke dokter sore itu juga. Ibuk sudah sangat kacau di perjalanan tapi Allah berkehendak lain, dua dokter kandungan tutup di hari itu.

Ibuk jalani sisa hari itu dengan semangat karena sampai besok sorenya pun Alhamdulillah sudah tak terlihat darah lagi yg keluar. Tapi malamnya, Nak, malamnya Ibuk lihat lagi darah itu keluar walaupun taksebanyak kemarin. Kami coba untuk tetap tenang menjagamu.

Senin, 8 Juli, kepala Ibuk terasa berat ketika salat duhur berjamaah. Bahkan selepasnya, Ibuk berkeringat dingin ketika menunggu Ayahmu untuk makan siang. Ibuk lemas, Nak. Ibuk cuma bisa duduk di pojok ruang guru, menunggu Ayah dg diam dan dingin. Kami berhasil melewati satu hari tanpa melihat sebercak darah meskipun Ayah tetep bersikukuh untuk mengajak Ibuk ke dokter.

Selasa, 9 Juli, Ayah tak memperbolehkan Ibuk untuk berangkat kerja. Ibuk hanya tidur di rumah menanti Ayah pulang. Malam hari itu, Ibuk dan Ayah rasanya tak ada beban, Nak. Kami tertawa, bercengkerama, bahkan Ibuk yg biasanya tidak pernah sampai larut menemani Ayah lembur, malam itu sungguh bahagia ada di sisi Ayah. Menemani dg alunan lagu, sekali dua kali kami bernyanyi bersama di ruang tamu. Iya Nak, Ayah dan Ibu di ruang tamu karena Ayah ingin lembur dengan suasana baru. Sesekali Ayah berhenti mengetik, mendekati Ibuk yg tiduran di sofa lalu membelai dan menciummu. Kami menantimu, Sayang.

Rabu, 10 Juli 2019
Pagi itu Ibuk melihat darah keluar ketika Ibuk di kamar mandi. Ibuk masih berpikiran positif karena memang nanti sore kami akan menemui dokter untuk menjagamu. Selepas mandi badan Ibuk lemas rasanya, rasa ngantuk yg bergelantung di mata membuat Ayah mengetik tugas sendirian pagi itu. Ibuk masih tidak diperbolehkan kerja sama Ayah. Tapi Ibuk bingung, Nak, Ibuk belum menyiapkan baju seragam Ayah hari itu, Ayah mau pakai apa hari ini? Sampai akhirnya Ayah berangkat kerja hanya pakai baju koko bukan seragam kerja. Satu jam selepas Ayah berangkat, perut Ibuk terasa mulas, Ibuk hanya tidur dan mencoba mengalihkan pikiran dari perut yang melilit. Ibuk terbangun untuk kedua kali ketika adan duhur berkumandang, Ibuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudu tapi, Nak, Ibuk melihat darah yang begitu banyak. Ibuk pipis dan darah keluar sangat banyak disertai rasa sakit perut seperti diremas-remas. Ibuk hanya diam di kamar mandi, Ibuk menangis dalam sunyi, gemericik air yg bisa sedikit menenangkan Ibuk. Langsung Ibuk menghubungi Ayah, Nak. Ibuk ingin segera bertemu Ayah, direngkuh, dan terisak dalam dekapan Ayah.

Siang itu, perut Ibuk semakin takkaruan. Mungkin kamu sedang berlarian kesana kemari ya, Nak? Kamu berlari mencari jalan keluar. Ibuk cukup tahan, Sayang. Ibuk beristighfar menunggu Ayah, Ibuk berdoa yg terbaik untukmu, Sayang. Jika memang hari ini Allah mengutusmu untuk keluar, Ibu dan Ayah (harus) ikhlas. Kami harus kuat. Tangisan yg sedari tadi Ibuk pendam tiba-tiba takbisa keluar ketika Ayah datang. Ibuk sedih, Sayang. Ibuk sedih. Tapi Ibuk gak mau lihat Ayah makin sedih kalau Ibuk terus menangis. Ayah sudah lelah dengan pekerjaannya, Ayah sudah bekerja keras untuk kita, Nak. Pelukan Ayah siang itu adalah semangat yg menguat seketika.

Sore itu juga, Ayah langsung mencari dokter kandungan yg buka. Ayah selalu menggenggam tangan Ibuk di ruang tunggu. Ayah yg menguatkan Ibuk, Ayah yg memberi Ibuk semangat untuk ikhlas jika memang ternyata kami belum bisa bertemu denganmu.

"Ini adalah rahim, dan ini sisa-sisa peluruhannya. Dalam kasus ini Ibu mengalami keguguran di usia 8 minggu."

Ibuk sedih mendengar penjelasan dokter, tapi Ibuk sudah tak bisa lagi menangis.

"Ibu dan Bapak masih muda, kesempatan masih banyak, jangan patah semangat"

Ya, Ibuk dan Ayah harus semangat, kami sedih, tapi kami tak boleh merintih. Iya kan, Sayang?

Sayang, terima kasih sudah (pernah) ada di perut Ibuk selama 8 minggu. Terima kasih sudah (pernah) ada di antara Ayah dan Ibuk. Sayang, meskipun kita tak pernah berjumpa, percayalah Ayah dan Ibuk sayang sama kamu. Kami menantimu, meskipun Allah lebih sayang denganmu. Terima kasih sudah menjadi semangat yg utama untuk kami, Nak. Kami akan berdoa lebih sering, lebih khusyuk, berusaha lebih gigih agar bisa bertemu dengan adekmu kelak.

Rencana Allah selalu lebih baik dari rencana manusia.

Ibuk bersyukur punya Ayah sekuat Ayahmu.

Maafkan Ibuk, Yah. Tiga hari Ayah berangkat kerja tanpa Ibuk, tiga hari Ibuk tak menyiapkan baju buat Ayah. Ayahmu pasti kebingungan untuk makan siang, Nak. Ayah takpandai makan sendiri di luar. Ibuk kuatir, Nak.

Ayah, terima kasih sudah menjadi Ayah siaga. Terima kasih sudah menjadi Ayah yg sabar, tegar, kuat. Terima kasih Ayah sudah menggenggam tangan ini untuk melangkah lagi. Bismillah ya, Yah.

Maaf dan terima kasih, Ayah.

I love you.